HASIL MUNAS BANJAR:
Penegasan Kesetiaan Ulama NU Terhadap Pancasila
Oleh: Ustadz AMA (Abdul Muiz Ali)
Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat dan Pengurus Lembaga Dakwah PBNU)
Tidak sampai 1×24 jam poin-poin hasil bahtsul masail Mauduiyah Munas NU dibacakan, langsung mendapat respon beragam dari publik, baik dari kalangan Kiai, santri (nahdliyin) dan bahkan cendekia dari kalangan akademisi.
Sisi lain ini adalah “kehebatan” NU. Setiap pandangan NU secara kelembagaan yang dihasilkan dari hasil bahtsul masail NU selalu mendapat respon dari segenap lapisaan masyarat.
Soal polemik “nonmuslim tidak boleh/jangan dipanggil kafir” yang sempat menjadi caption disebagian media dan viral dimedia sosial, dapat dilihat dari dua hal.
Pertama, kemungkinan besar mereka tidak tahu tasawwur masalahnya secara utuh berikut istinbath hukumnya; tidak hadir pada saat bahtsul masail hingga sidang pleno Munas NU.
Kedua, tidak tahu bahwa sebenarnya hasil bahtsul masail tersebut sejatinya merupakan lanjutan dari Munas NU di Situbondo 1982. Hal ini dilakukan oleh ulama NU sebagai bentuk penegasan kesetian NU terhadap Pancasila.
NU menunjukkan penerimaannya terhadap Pancasila pada Munas 1982 yang kemudian mendeklarasikannya secara resmi pada muktamar ke-27 1984 di Situbondo. Keputusan NU menerima Pancasial sebagai Asas Tunggal diarsiteki oleh KH. Achmad Siddiq (yang kemudian menjadi Rais ‘Aam Syuriah NU) dan Gus Dur (yang kemudian menjadi Ketua Umum PBNU).
Tidak Ada yang Baru Dari Keputusan NU
Sejak Muktamar 1984 di Situbondo, NU sudah membuat keputusan bahwa persaudaraan di dalam negara bangsa (nation states) yang perlu terus dirajut ada tiga. Pertama adalah persaudaraan seiman (sesama muslim). Kedua persaudaraan sesama bangsa (ukhuwah wathoniyah).
Ketiga persaudaraan sesama manusia (ukhuwah insaniyah). Apa yang diputuskan dalam Munas Alim Ulama di Banjar, merupakan elaborasi sekaligus konsistensi dari item kedua (persaudaraan sebangsa).
Dalam faktanya, dalam Al Quran ditegaskan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku di muka bumi ini agar satu sama yang lain saling mengenal, saling bersilaturrahim untuk menciptakan kedamaian. Apa yg diputuskan di Doha Qatar sebulan silam antara Grand syekh Al Azhar dan Paus Fransiscus Asisi dari Roma, ingin menegaskan persaudaraan sesama manusia untuk kedamaian dangan latar belakang agama.
Latar belakang penandatangana di Doha, adalah kondisi dunia yang dirasa makin tidak kondusif untuk perdamaian antar sesama manusia. Perdamaian dunia tak bisa diselesaikan dengan mengedepanakan politik belaka, tetapi harus mengedepankan unsur agama. Energi serta ruh agama tentang perdamaian antar sesama manusia mesti dikedepankan. Persekusi serta energi negatif atas nama agama karena didominasi oleh kalangan yang berfaham tekstualis, terjadi di mana-mana.
Keputusan Doha inline dengan keputusan Muktamar NU 1984. Negara bangsa yang sejak 1945 didirikan bersama-sama (negeri perjanjian/mu’ahadah) mesti dijaga bersama-sama sudah menjadi keputusan Muhammadiyah dan NU, merujuk pada Piagam Madinah yg didirikan oleh Rasulullah setelah beliau hijrah.
Menurut Drs. KH. Masdhuki Baidlowi (Wasekjed PBNU), dari sudut pandang kenegaraan hasil keputusan bahtsul masail Munas NU Banjar sudah sangat tepat. Kita harus bersepakat, bahwa tidak ada lagi mayoritas dan minoritas dalam agama. Semua sama posisinya di depan hukum. Jadi, tidak tepat menyebut saudara kita yang agamanya berbeda sebagai kafir. Saudara kita menjadi tidak nyaman perasaannya. Anjuran agama tidak nengajarkan pada kita untuk membuat saudara sebangsa tersinggung.
Menyikapi kondisi nasional terakhir terutama yg terkait dg elemen2 bangsa yg mulai rusak rasa persaudaraannya karena banyak mengedepankan persekusi, hoaks yg tidak sehat lewat medsos (post truth era), semangat keputusan Muktamar 1984 dikedepankan kembali. Itulah latar belakang dari keputusan Munas NU di Banjar Jabar tersebut.